Materi :
– Hakikat Iman
– Pokok-Pokok Keimanan
– Pasang Surut Keimanan
Hakikat Iman
Iman merupakan sebuah hakikat syar’iyah. Sebab menurut para pakar ilmu ushul, hakikat terbagi menjadi tiga: hakikat syar’iyah, hakikat ‘urfiyah, dan hakikat lughowiyah. Ini artinya, pengertian iman di sini adalah dari sisi hakikat syar’iyah (keagamaan), bukan hakikat ‘urfiyah (kebiasaan) ataupun hakikat lughowiyah (kebahasaan).
Secara bahasa, sholat pada hakikatnya adalah doa. Semata-mata berdoa sudah disebut sebagai sholat secara bahasa. Akan tetapi dalam syari’at, hakikat sholat lebih luas daripada itu. Secara syari’at yang dimaksud dengan hakikat sholat adalah perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sehingga sholat terdiri dari ucapan dan perbuatan, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Itulah hakikat sholat dalam pandangan syari’at.
Demikian pula halnya dengan istilah puasa, zakat, dan haji. Ini semuanya adalah hakikat syar’iyah. Maka iman adalah suatu hakikat syar’iyah. Ia mencakup ucapan dengan lisan; yaitu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan berdzikir, termasuk di dalamnya adalah mengucapkan tasbih dan tahlil. Kemudian, iman juga meliputi pembenaran dengan hati terhadap apa yang diucapkan oleh lisanmu. Iman juga mencakup amalan dengan anggota badan, yaitu dengan engkau menggerakkan anggota tubuhmu dalam rangka melakukan ibadah dan ketaatan, serta untuk meninggalkan kemaksiatan dan menahan diri dari berbagai perbuatan maksiat.
Ini artinya, iman bukan ucapan lisan semata. Ia bukan semata-mata keyakinan di dalam hati. Iman juga bukan semata-mata amalan tanpa dilandasi keyakinan dan tanpa ucapan. Akan tetapi ketiga hal ini harus terwujud dan saling berkaitan erat satu sama lain. Iman itu akan meningkat dengan sebab melakukan ketaatan; setiap kali seseorang melakukan ketaatan maka bertambahlah imannya. Dan ia akan menurun dengan sebab kemaksiatan, sehingga setiap kali muncul perbuatan maksiat dari seseorang maka seketika itulah berkurang pula imannya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan ini dalam Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 174-175)
Pokok-Pokok Keimanan
Para ulama salaf menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan (lihat at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11)
Dalam aqidah salaf, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (Ibrahim : 24). Di dalam ayat ini Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah (lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran hati saja maka ini adalah pemahaman kaum Murji’ah. Pendapat yang benar adalah bahwa iman itu mencakup ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan diamalkan dengan anggota badan. Hal ini menunjukkan bahwa amal merupakan bagian dari hakikat iman. Amal bukan sesuatu yang terpisah dari iman. Barangsiapa mencukupkan diri dengan ucapan lisan dan pembenaran di dalam hati tanpa melakukan amal sama sekali maka dia bukanlah orang yang memiliki iman yang lurus (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah, hal. 145)
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati dan amal anggota badan adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat laa ilaha illallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati (lihat Syarh Manzhumah Haa’iyah, hal. 189)
Pokok-pokok keimanan telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril. Dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim). Keenam perkara inilah yang disebut sebagai rukun iman. Barangsiapa mengingkari salah satu dari rukun iman ini maka dia menjadi kafir, karena dia telah mendustakan apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 74)
Termasuk dalam pokok keimanan yang paling agung adalah mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah, mengakui keesaan Allah dalam hal ibadah, dan beribadah kepada Allah semata serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (lihat at-Taudhih wal Bayan, hal. 12-13)
Termasuk dalam pokok keimanan pula adalah keyakinan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak ada lagi nabi dan rasul yang diutus setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu para ulama menyatakan kekafiran orang-orang yang mengaku nabi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Musailamah al-Kadzdzab, al-Aswad al-Ansi, demikian pula kaum Ahmadiyah al-Qadiyaniyah yang meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 223)
Pasang Surut Keimanan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Salah satu pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya iman bertambah dan berkurang. Hal itu ditopang oleh dalil dari al-Kitab maupun as-Sunnah.” (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah bi Talkhish al-Hamawiyyah, hal. 102)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya mereka maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (al-Anfal: 2). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Apabila seorang insan mendengar al-Qur’an maka bertambahlah imannya. Dan apabila dia jauh dari al-Qur’an maka berkuranglah imannya.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 175)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga memaparkan, bahwasanya keimanan umat manusia tidaklah berada dalam derajat yang sama. Iman Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu -misalnya- bisa menyamai keimanan segenap umat ini. Sehingga tidaklah sama antara keimanan Abu Bakar dengan iman yang ada pada kaum muslimin yang fasik. Ini adalah perkara yang sudah jelas. Adapun orang yang mengatakan bahwa iman itu sekedar pembenaran di dalam hati, dan bahwasanya ia tidak bertingkat-tingkat, maka ini adalah perkataan kaum Murji’ah. Menurut pandangan mereka iman Abu Bakar dengan iman orang yang paling fasik adalah sama. Jelas ini adalah kekeliruan yang sangat fatal (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 178)
Abdullah -putra Imam Ahmad bin Hanbal- pernah mendengar ada yang bertanya kepada ayahnya mengenai paham Murji’ah, maka beliau menjawab, “Adapun kami -Ahlus Sunnah- mengatakan bahwa iman itu ucapan dan amalan, ia bertambah dan berkurang. Apabila seorang berzina dan meminum khamr maka berkuranglah iman orang tersebut.” (lihat as-Sunnah [1/307])
Abdullah juga menuturkan: Ayahku menuturkan kepadaku. Dia berkata: Abu Nu’aim menuturkan kepada kami. Dia berkata: Aku mendengar Sufyan -yaitu ats-Tsauri- berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang.” (lihat as-Sunnah [1/310])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Dalam kaitannya dengan pokok ini, ada dua kelompok yang menyimpang dari kebenaran. Pertama; sekte Murji’ah tulen yang mengatakan bahwa iman adalah semata-mata pengakuan hati dan menurut mereka pengakuan hati itu tidak bertingkat-tingkat, sehingga orang fasik dan orang yang adil/soleh menurut mereka adalah setara dalam hal iman. Kedua; sekte Wa’idiyah yaitu kalangan Mu’tazilah dan Khawarij, mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari lingkaran iman. Menurut mereka, iman itu kalau ada maka adanya secara total atau kalau tidak ada maka lenyapnya juga secara total. Menurut mereka, iman itu tidak bertingkat-tingkat.” (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah bi Talkhish al-Hamawiyyah, hal. 103)
Secara global, ada empat sebab pokok bertambahnya iman, yaitu: 1. Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, 2. Memperhatikan ayat-ayat kauniyah maupun ayat-ayat syar’iyah, 3. Melakukan ketaatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, 4. Meninggalkan kemaksiatan karena takut kepada Allah. Adapun sebab-sebab utama berkurangnya iman adalah kebalikan atau lawan dari hal-hal tersebut (lihat Fathu Rabb al-Bariyyah, hal. 104-106)
Kesimpulan dan Faidah :
– Iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan
– Di dalam hadits Jibril telah disebutkan pokok-pokok keimanan
– Iman bisa bertambah dan bisa berkurang
– Ketaatan menjadi sebab bertambahnya iman
– Kemaksiatan menjadi sebab berkurangnya iman
– Amal adalah bagian dari iman
– Hendaknya kita selalu berusaha menjaga iman kita
– Hendaknya kita menjauhi hal-hal yang menyebabkan lemahnya iman
Pertanyaan Evaluasi :
– Sebutkan pengertian iman secara syari’at!
– Sebutkan enam rukun iman!
– Sebutkan dua kelompok yang menyimpang dalam hal iman!
– Sebutkan salah satu dalil al-Qur’an yang menunjukkan bahwa iman bisa bertambah!